Kamis, 11 September 2008

Garam yang tidak asin (lanjutan)

“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak oramg” (Matius 5:13).

Sebagaimana telah saya coba uraikan pada tulisan yang terhadulu tentang garam yang telah kehilangan rasa asinnya, yang dikarenakan oleh kebiasaan orang-orang Palestina kuno yang memanfaatkan garam sebagai penguat panas pada tungku untuk keperluan memasak (Barclay: The Daily Study Bible Sseries the Gospel of Matthew, 1958:121). Dan jika rasa asin garam itu hilang, maka tungku itu akan dibongkar kemudian oleh pemiliknya akan dibuang dipinggir jalan kemudian akan diinjak-injak orang.

Adam Clarke menjelaskan tentang garam yang menjadi tidak asin itu sangat mungkin di Judea pada waktu itu, hal tersebut dikutip dari penjelasan Mr. Maundrell yang telah membuktikan sendiri dengan memberi penjelasan sebagai berikut: “Along, on one side of the valley, toward Gibul, there is a small precipice about two men’s lengths, occasioned by the continual taking away of the salt; and, in this, you may see how the veins of it lie. I broke a piece of it, of which that part that was exposed to the rain, sun,and air, though it had the sparks and particles of salt, YET IT HAD PERFECTLY LOST ITS SAVOUR: the inner part, which was connected to the rock, retained its savor, as I found by proof ” (Clake, Clarke’s Commentary Matthew – Luke, Ages Software, 1996, 1997:95).

Pada jurang tersebut ditemukan lempengan garam yang muncul oleh karena terkena terpaan hujan, matahari dan udara. Dan lempengan garam itu benar-benar telah kehilangan rasa asinnya. Sedangkan dibagian dalam dari jurang itu lempengan garam yang menempel pada batu karang rasanya tetap asin.

Mengapa garam itu bisa berbentuk menjadi lempengan? Kita tahu jika garam dipres akan menjadi padat dan bentuknya bisa dibuat sesui dengan kehendak pembuatnya. Demikian pula garam yang berada dilembah sebagaimana dijelaskan oleh Mr. Maundrell tersebut, secara alami garam itu akan terus menerus bertumpuk dan menjadi padat sehingga berbentuk lempengan.

Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa garam yang menjadi padat karena dibentuk dengan disengaja atau secara alami itu akan kehilangan rasa asinnya setelah dinggunaan sebagai pembantu daya panas tungku yang biasa dibuat oleh orang-orang Palestina kuno. Dan ketika daya panas pada tungku itu menjadi berkurang karena kekuatan rasa asin garam telah hilang, maka tungku itu akan dibongkar dan dibuang dan akan dibuat tungku yang baru lagi dengan cara yang sama sebagaimana sebelumnya.

Penjelasan ini lebih masuk akal dibandingkan dengan tungku yang daya panasnya dibantu oleh pasir yang asin, yang tentu saja daya asinnya tidak sekuat garam itu sendiri.

Saya meyakini bahwa Tuhan Yesus dapat membedakan antara pasir dan garam. Karena itu Dia mengatakan secara tegas: “Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak oramg”

Karena itu, Tuhan Yesus menegaskan: “Kamu adalah garam dunia.” Hal ini menyangkut berbagai fungsi garam dalam berbagai konteks kehidupan. Dan sebagai orang beriman kepada-Nya, seperti itulah kita harus berfungsi dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang akan saya jelaskan pada tulisan saya berikutnya.

Kudus, Jawa Tengah, Indonesia, 12-9-2008.

1 komentar:

Nindyo Sasongko mengatakan...

Terima kasih untuk kajian yang menarik perhatian dan memberikan pencerahan kepada saya.

Ada kajian yang lebih khusus.

(1) Kata "moranthe" harfiahnya adalah "dijadikan atau menjadi bodoh/gila/sinting." Tidak ada penggunaan yang terdokumentasi dalam literatur Yahudi tentang "menjadi tawar/kehilangan keasinannya." Ada kemungkinan penggunaan akar kata Semitik TPL, yang punya keterkaitan dengan sikap bodoh dan cita rasa yang hambar di dalam makanan. Tapi arti yang pertama ini tidak jelas dalam varian-varian teks.

(2) Tafsir terbaru Matius dari John Nolland demikian, "The various explanations offered for how ancient (impure) salt may have lost its saltiness are probably beside the point. The point is that it would be bizarre and unnatural for salt to lose its saltiness." (J. Nolland, Matthew, New International Greek Testament Commentary [Grand Rapids: Eerdmans, 2005], 213).

Jika makanan tawar, ia butuh garam untuk mengasinkannya. Tetapi tidak mungkin itu terjadi untuk garam itu sendiri. Dalam Babylonian Talmud Bekorot terdapat keterangan: "'Ketika garam menjadi tidak berasa, dengan apakah ia diasinkan?' Ia menjawab, 'Dengan keledai yang baru saja dilahirkan.' 'Dan apakah ada seekor keledai yang baru saja dilahirkan?' 'Dan dapatkan garam menjadi tidak berasa?' Dalam tradisi Yahudi sendiri, sangat disangsikan bahwa garam itu dapat menjadi tawar.

Secara sosio-gramatik, penggunaan kalimat seperti ini menunjuk kepada keadaan yang tidak natural. Maka, dipakailah bentuk ketiadaartian, penolakan, perendahan.

(3) Tafsir yang lebih terbaru ialah R.T. France, Gospel of Matthew, New International Commentary on the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 2007), 174-175. Dikatakan,

"Unsalty salt is a contradiction in terms ("like water losing its wetness"; [Hans Dieter] Betz); if it is not salty, it is not salt . . . 'becomes tasteless' more literally means 'becomes foolish'.

France mengatakan bahwa Yesus hendak menekankan ketidakmungkinan untuk menggarami benda yang seharusnya menjadi sumber keasinan, sama seperti istilah murid yang telah kehilangan kekhasannya dan tidak mempunyai apa pun untuk menjadi sumbangsih bagi masyarakat.