Kamis, 11 September 2008

Garam yang tidak asin (lanjutan)

“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak oramg” (Matius 5:13).

Sebagaimana telah saya coba uraikan pada tulisan yang terhadulu tentang garam yang telah kehilangan rasa asinnya, yang dikarenakan oleh kebiasaan orang-orang Palestina kuno yang memanfaatkan garam sebagai penguat panas pada tungku untuk keperluan memasak (Barclay: The Daily Study Bible Sseries the Gospel of Matthew, 1958:121). Dan jika rasa asin garam itu hilang, maka tungku itu akan dibongkar kemudian oleh pemiliknya akan dibuang dipinggir jalan kemudian akan diinjak-injak orang.

Adam Clarke menjelaskan tentang garam yang menjadi tidak asin itu sangat mungkin di Judea pada waktu itu, hal tersebut dikutip dari penjelasan Mr. Maundrell yang telah membuktikan sendiri dengan memberi penjelasan sebagai berikut: “Along, on one side of the valley, toward Gibul, there is a small precipice about two men’s lengths, occasioned by the continual taking away of the salt; and, in this, you may see how the veins of it lie. I broke a piece of it, of which that part that was exposed to the rain, sun,and air, though it had the sparks and particles of salt, YET IT HAD PERFECTLY LOST ITS SAVOUR: the inner part, which was connected to the rock, retained its savor, as I found by proof ” (Clake, Clarke’s Commentary Matthew – Luke, Ages Software, 1996, 1997:95).

Pada jurang tersebut ditemukan lempengan garam yang muncul oleh karena terkena terpaan hujan, matahari dan udara. Dan lempengan garam itu benar-benar telah kehilangan rasa asinnya. Sedangkan dibagian dalam dari jurang itu lempengan garam yang menempel pada batu karang rasanya tetap asin.

Mengapa garam itu bisa berbentuk menjadi lempengan? Kita tahu jika garam dipres akan menjadi padat dan bentuknya bisa dibuat sesui dengan kehendak pembuatnya. Demikian pula garam yang berada dilembah sebagaimana dijelaskan oleh Mr. Maundrell tersebut, secara alami garam itu akan terus menerus bertumpuk dan menjadi padat sehingga berbentuk lempengan.

Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa garam yang menjadi padat karena dibentuk dengan disengaja atau secara alami itu akan kehilangan rasa asinnya setelah dinggunaan sebagai pembantu daya panas tungku yang biasa dibuat oleh orang-orang Palestina kuno. Dan ketika daya panas pada tungku itu menjadi berkurang karena kekuatan rasa asin garam telah hilang, maka tungku itu akan dibongkar dan dibuang dan akan dibuat tungku yang baru lagi dengan cara yang sama sebagaimana sebelumnya.

Penjelasan ini lebih masuk akal dibandingkan dengan tungku yang daya panasnya dibantu oleh pasir yang asin, yang tentu saja daya asinnya tidak sekuat garam itu sendiri.

Saya meyakini bahwa Tuhan Yesus dapat membedakan antara pasir dan garam. Karena itu Dia mengatakan secara tegas: “Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak oramg”

Karena itu, Tuhan Yesus menegaskan: “Kamu adalah garam dunia.” Hal ini menyangkut berbagai fungsi garam dalam berbagai konteks kehidupan. Dan sebagai orang beriman kepada-Nya, seperti itulah kita harus berfungsi dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang akan saya jelaskan pada tulisan saya berikutnya.

Kudus, Jawa Tengah, Indonesia, 12-9-2008.

Jumat, 11 Juli 2008

Keluarga merupakan laboratorium untuk menciptakan hidup yang berkualitas

Bacaan : Efesus 5:15-17.


Pendahuluan.

Keluarga adalah tempat yang nyaman, aman, penuh kehangatan untuk menjalani kehi­dupan bersama bagi setiap anggotanya.

Di samping itu, keluarga adalah tempat untuk bertumbuh dan berkembang secara kreatif dalam berbagai aspek kehidupan.

Karena itu, keluarga harus dijadikan sebagai laboratorium, agar kehidupan keluarga semakin berkualitas.


Pembahasan.

  1. Keluarga menjadi laboratorium kesa­lehan kepada Tuhan (15).

“Perhatikan secara saksama, bagaimana kamu hidup.”

Di dalam kata “perhatikan” terkandung maksud untuk melihat, meng­ob­servasi dan meneliti secara saksama.

Yang harus dilihat, diobservasi dan diteliti di dalam keluarga orang Kristen adalah, apakah kehidupan keluarga Kristen sudah mencapai standar kesalehan kepada Tuhan.

Untuk itu, maka keluarga Kristen seha­rus­nya menjadi pusat laboratorium (penelitian) kesalehan kepada Tuhan. Sehingga keluarga Kristen menjadi tempat untuk membangun keh­i­dupan moral secara kreatif. Sebab sikap moral meru­pakan dasar kesalehan manusia kepada Tuhan.

Dengan demikian, keluarga Kristen yang berkualitas adalah keluarga yang hidup berdasarkan kesalehan kepada Tuhan.

Oleh karena itu, setiap anggota keluarga Kristen perlu saling memberi teladan kesalehan, supaya menjadi orang yang taat kepada semua kehendak Tuhan.

Jika seorang suami melihat istrinya menjadi orang yang kurang memiliki kesalehan kepada Tuhan, maka sebagai suami harus menjadi teladan kesaselahan bagi istrinya.

Jika seorang istri melihat suaminya menjadi orang yang kurang memiliki kesalehan kepada Tuhan, maka sebagai istri harus menjadi teladan kesalehan bagi suaminya.

Jika orangtua melihat anak-anaknya menjadi orang-orang yang kurang memiliki kesalehan kepada Tuhan, maka orangtua harus menjadi teladan keselehan kepada anak-anaknya.

Sebab perkembangan kesalehan anak-anak itu didapat dari meneladani apa yang telah dilakukan dan diajarkan oleh orangtua.

Anak-anak akan menjadi rajin berdoa karena melihat orangutanya rajin berdoa. Anak-anak akan rajin pergi ke gereja karena melihat orangtuanya rajin pergi gereja. Anak-anak akan rajin terlibat dalam pelayanan karena melihat orangtuanya rajin melayani Tuhan.

Dan bahkan dalam banyak hal anak-anak pun bisa menjadi teladan kesalehan bagi orangtuanya.

Jika hal tersebut terjadi dalam kehidupan keluarga kita, maka keluarga kita akan benar-benar menjadi laboratorium kesa­lehan yang kreatif.

  1. Keluarga menjadi laboratorium untuk mengerti kehendak Tuhan (17).

Bagaimana kita dapat mengerti kehendak Tuhan? Kita harus mau dipenuhi dengan Roh Kudus (18). Artinya, kita mau dikuasi dan dipimpin Roh Kudus, sebab Roh Kudus akan selalu mengingatkan kita, bahwa kita ini adalah anak-anak terang (8-9) yang harus melakukan:


  1. Kebaikan, yaitu kebajikan (agatahosune) adalah jiwa atau semangat untuk memiliki hidup yang berkemurahan hati.

Kehidupan keluarga Kristen yang memiliki kebajikan akan menjadikan keluarga tersebut sebagai tempat yang memberi ketenteraman bagi seluruh anggota keluarganya.

Mengapa? Karena masing-masing ang­gota keluarga mau meneliti dalam hidupnya apakah dirinya telah memiliki kemurahan hati yang harus dicurahkan bagi setiap anggota keluarga.

Dari hasil penelitiannya tersebut, kemu­dian masing-masing anggota keluarga ber­lomba-lomba untuk menerapkan kemu­rahan hatinya.

Seorang suami memberikan kemurahan hatinya kepada istrinya. Seorang istri mem­berikan kemurahan hatinya kepada suaminya. Orangtua memberikan kemurahan hatinya kepada anak-anaknya. Anak-anak juga sa­ling memberikan kemurhan hati dan seka­ligus memberikan kemurhan hati kepada orangtuanya.


  1. Keadilan, (dikaiosune) memberikan kepada manusia dan Allah apa yang menjadi hak mereka.

Kehidupan keluarga Kristen yang memiliki keadilan akan menjadikan keluarga tersebut sebagai tempat yang memberi kenyamanan bagi seluruh anggota keluar­ganya.

Sebab sifat dari keadilan adalah menempatkan persoalan pada tempat yang sebenarnya.

Jika dalam keluarga ada yang bermasalah, maka yang salah harus ditempatkan sebagai yang salah dan mengakui kesa­lahannya. Dan yang benar ditempatkan pada posisi yang benar.

Jika dalam keluarga ada yang bermasalah, dan kedua-duanya salah, maka keduanya harus mengakui kesalahannya.

Jika dalam keluarga ada yang bermasalah, dan keduanya sama-sama benar, maka keduanya harus dinyatakan sama-sama benar.

  1. Kebe­naran, (aletheia) yaitu melakukan hal yang benar baik secara intelektual maupun moral.

Keluarga Kristen adalah tempat pem­bentukan intelektual dan moral bagi seluruh anggotanya.

Karena itu, orangtua mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan intelek­tual dan moral anak-anak. Anak-anak akan menjadi anak-anak yang cerdas secara intelektual dan cerdas secara moral pertama-tama belajar dari dalam rumah, itu berarti belajar dari orangtua.

Jika orangtua menanamkan kecerdasan intelektual dan moral dengan cara yang benar kepada anak-anaknya, maka kecerasan intelektual dan moral anak-anak akan dapat bertumbuh dan berkembang secara baik.


  1. Keluarga menjadi laboratorium untuk memuji (19).

Pujian bukan saja dalam bentuk nyanyian, mazmur dan puji-pujian. Tetapi terlebih dari itu, bahwa dalam keluarga harus saling memberi pujian antara satu dengan yang lain.

Mengapa hal ini penting dalam kehidupan keluarga Kristen? Agar dari dalam mulut setiap anggota keluarga Kristen tidak keluar hal yang kotor, yang najis, yang melukai batin, yang membuat orang tersinggung, membuat orang marah, membuat orang putus asa.

Karena itu, dari mulut masing-masing anggota keluarga Kristen seharusnya yang keluar adalah pujian antara anggota keluargta yang satu dengan yang lainnya. Sebab dengan pujian tersebut orang bisa memiliki semangat untuk memperjuangkan kehidupan.

Di samping itu, kita harus memahami bahwa semua kata-kata yang keluar dari dalam mulut kita sebenarnya adalah aroma hati kita.

Jika yang keluar dari mulut kita adalah berbagai makian, maka itulah sebenarnya aroma hati yang sesungguhnya.

Namun, jika yang keluar dari mulut kita adalah berbagai pujian baik bagi kemuliaan Tuhan, maupun untuk memberi dukungan kepada setiap anggota keluarga, maka itulah aroma hati kita yang sesungguhnya.


  1. Keluarga menjadi laboratorium untuk meng­ucap syukur (20).

Mengucap syukur atas segala kebaikan Tuhan untuk hidup keluarga kita, yang wujudnya adalah perlindungan Tuhan, berkat-berkat Tuhan, pekerjaan kita, talenta kita untuk melayani-Nya dan kemam­puan kita berbuat baik kepada orang lain.

Di dalam kehidupan keluarga Kristen, orangtua mempunyai peranan penting untuk memberi teladan kepada anak-anak agar mereka tahu berterima kasih dan mengucap syukur untuk semua yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Saya pernah begitu terkejut. Tetapi sekaligus kagum. Sebab ketika kami meng­adakan ibadah lesehan dengan menggunakan tikar, ketika kantong kolekte sedang diedarkan, ada anak kecil yang belum bisa berjalan, dia merangkak mengejar orang yang sedang mengedarkan kantong kolekte tesebut. Kemudian dia mema­sukkan uang per­sem­bahan ke dalam kantong kolekte.

Mengapa itu bisa terjadi? Karena orangtuanya telah memberi teladan anaknya yang masih kecil dan memberi dorongan untuk mengucap syukur kepada Tuhan atas berkat-berkat yang telah mereka terima.

Karena itu, marilah keluarga kita, kita gunakan sebagai laboratorium untuk mengucap syukur kepada Tuhan, atas semua kebaikan-Nya.

Dengan demikian, kita perlu secara jujur untuk menghitung setiap berkat yang Tuhan telah berikan kepada keluarga kita. Dan secara jujur pula mengucap syukur kepada Tuhan.



  1. Keluarga menjadi laboratorium untuk memiliki rasa hormat (21).

Artinya, bahwa dalam keluarga, antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya harus saling menghargai.

Suami harus menghargai istri, karena istri telah menghayati dan melaksanakan perannya atas panggilan Tuhan di balik tugasnya sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Dengan demikian, dia adalah penolong yang sepadan bagi suaminya.

Istri harus menghargai suami, karena suami harus menghayati dan melaksanakan perannya sebagai kepala keluarga, yang ber­tanggung jawab untuk mengambil kepu­tusan, menjadi inisiator, pelindung dan organisator dalam keluarga.

Anak-anak harus menghormati dan menghargai kedua orangtuanya, kerena mereka telah menghayati dan melaksanakan perannya sebagai orangtua dengan penuh tanggung jawab.

Jika dalam kehidupan keluarga, setiap anggotanya dapat melakukan yang demikian, maka keluarga tersebut telah menjadi laboratorium untuk saling menghormati dan menghargai antara satu dengan yang lainnya.


Kesimpulan.

Kehidupan keluarga kita akan benar-benar berkualitas, jika kita mau menggunakan sebagai laboratorium yang dapat melihat segala kekurangan. Kemudian dengan kesungguhan hati bersedia memperbaikinya.

Sehingga keluarga kita akan menjadi tempat yang nyaman, aman, penuh kehangatan dan seluruh anggota keluarga dapat bertumbuh dan ber­kem­bang secara kreatif dalam berbagai aspek kehidupan.

Keluarga merupakan laboratorium untuk menciptakan hidup yang berkualitas

Bacaan : Efesus 5:15-17.


Pendahuluan.

Keluarga adalah tempat yang nyaman, aman, penuh kehangatan untuk menjalani kehi­dupan bersama bagi setiap anggotanya.

Di samping itu, keluarga adalah tempat untuk bertumbuh dan berkembang secara kreatif dalam berbagai aspek kehidupan.

Karena itu, keluarga harus dijadikan sebagai laboratorium, agar kehidupan keluarga semakin berkualitas.

Pembahasan.

  1. Keluarga menjadi laboratorium kesa­lehan kepada Tuhan (15).

“Perhatikan secara saksama, bagaimana kamu hidup.”

Di dalam kata “perhatikan” terkandung maksud untuk melihat, meng­ob­servasi dan meneliti secara saksama.

Yang harus dilihat, diobservasi dan diteliti di dalam keluarga orang Kristen adalah, apakah kehidupan keluarga Kristen sudah mencapai standar kesalehan kepada Tuhan.

Untuk itu, maka keluarga Kristen seha­rus­nya menjadi pusat laboratorium (penelitian) kesalehan kepada Tuhan. Sehingga keluarga Kristen menjadi tempat untuk membangun keh­i­dupan moral secara kreatif. Sebab sikap moral meru­pakan dasar kesalehan manusia kepada Tuhan.

Dengan demikian, keluarga Kristen yang berkualitas adalah keluarga yang hidup berdasarkan kesalehan kepada Tuhan.

Oleh karena itu, setiap anggota keluarga Kristen perlu saling memberi teladan kesalehan, supaya menjadi orang yang taat kepada semua kehendak Tuhan.

Jika seorang suami melihat istrinya menjadi orang yang kurang memiliki kesalehan kepada Tuhan, maka sebagai suami harus menjadi teladan kesaselahan bagi istrinya.

Jika seorang istri melihat suaminya menjadi orang yang kurang memiliki kesalehan kepada Tuhan, maka sebagai istri harus menjadi teladan kesalehan bagi suaminya.

Jika orangtua melihat anak-anaknya menjadi orang-orang yang kurang memiliki kesalehan kepada Tuhan, maka orangtua harus menjadi teladan keselehan kepada anak-anaknya.

Sebab perkembangan kesalehan anak-anak itu didapat dari meneladani apa yang telah dilakukan dan diajarkan oleh orangtua.

Anak-anak akan menjadi rajin berdoa karena melihat orangutanya rajin berdoa. Anak-anak akan rajin pergi ke gereja karena melihat orangtuanya rajin pergi gereja. Anak-anak akan rajin terlibat dalam pelayanan karena melihat orangtuanya rajin melayani Tuhan.

Dan bahkan dalam banyak hal anak-anak pun bisa menjadi teladan kesalehan bagi orangtuanya.

Jika hal tersebut terjadi dalam kehidupan keluarga kita, maka keluarga kita akan benar-benar menjadi laboratorium kesa­lehan yang kreatif.

  1. Keluarga menjadi laboratorium untuk mengerti kehendak Tuhan (17).

Bagaimana kita dapat mengerti kehendak Tuhan? Kita harus mau dipenuhi dengan Roh Kudus (18). Artinya, kita mau dikuasi dan dipimpin Roh Kudus, sebab Roh Kudus akan selalu mengingatkan kita, bahwa kita ini adalah anak-anak terang (8-9) yang harus melakukan:


  1. Kebaikan, yaitu kebajikan (agatahosune) adalah jiwa atau semangat untuk memiliki hidup yang berkemurahan hati.

Kehidupan keluarga Kristen yang memiliki kebajikan akan menjadikan keluarga tersebut sebagai tempat yang memberi ketenteraman bagi seluruh anggota keluarganya.

Mengapa? Karena masing-masing ang­gota keluarga mau meneliti dalam hidupnya apakah dirinya telah memiliki kemurahan hati yang harus dicurahkan bagi setiap anggota keluarga.

Dari hasil penelitiannya tersebut, kemu­dian masing-masing anggota keluarga ber­lomba-lomba untuk menerapkan kemu­rahan hatinya.

Seorang suami memberikan kemurahan hatinya kepada istrinya. Seorang istri mem­berikan kemurahan hatinya kepada suaminya. Orangtua memberikan kemurahan hatinya kepada anak-anaknya. Anak-anak juga sa­ling memberikan kemurhan hati dan seka­ligus memberikan kemurhan hati kepada orangtuanya.


  1. Keadilan, (dikaiosune) memberikan kepada manusia dan Allah apa yang menjadi hak mereka.

Kehidupan keluarga Kristen yang memiliki keadilan akan menjadikan keluarga tersebut sebagai tempat yang memberi kenyamanan bagi seluruh anggota keluar­ganya.

Sebab sifat dari keadilan adalah menempatkan persoalan pada tempat yang sebenarnya.

Jika dalam keluarga ada yang bermasalah, maka yang salah harus ditempatkan sebagai yang salah dan mengakui kesa­lahannya. Dan yang benar ditempatkan pada posisi yang benar.

Jika dalam keluarga ada yang bermasalah, dan kedua-duanya salah, maka keduanya harus mengakui kesalahannya.

Jika dalam keluarga ada yang bermasalah, dan keduanya sama-sama benar, maka keduanya harus dinyatakan sama-sama benar.

  1. Kebe­naran, (aletheia) yaitu melakukan hal yang benar baik secara intelektual maupun moral.

Keluarga Kristen adalah tempat pem­bentukan intelektual dan moral bagi seluruh anggotanya.

Karena itu, orangtua mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan intelek­tual dan moral anak-anak. Anak-anak akan menjadi anak-anak yang cerdas secara intelektual dan cerdas secara moral pertama-tama belajar dari dalam rumah, itu berarti belajar dari orangtua.

Jika orangtua menanamkan kecerdasan intelektual dan moral dengan cara yang benar kepada anak-anaknya, maka kecerasan intelektual dan moral anak-anak akan dapat bertumbuh dan berkembang secara baik.


  1. Keluarga menjadi laboratorium untuk memuji (19).

Pujian bukan saja dalam bentuk nyanyian, mazmur dan puji-pujian. Tetapi terlebih dari itu, bahwa dalam keluarga harus saling memberi pujian antara satu dengan yang lain.

Mengapa hal ini penting dalam kehidupan keluarga Kristen? Agar dari dalam mulut setiap anggota keluarga Kristen tidak keluar hal yang kotor, yang najis, yang melukai batin, yang membuat orang tersinggung, membuat orang marah, membuat orang putus asa.

Karena itu, dari mulut masing-masing anggota keluarga Kristen seharusnya yang keluar adalah pujian antara anggota keluargta yang satu dengan yang lainnya. Sebab dengan pujian tersebut orang bisa memiliki semangat untuk memperjuangkan kehidupan.

Di samping itu, kita harus memahami bahwa semua kata-kata yang keluar dari dalam mulut kita sebenarnya adalah aroma hati kita.

Jika yang keluar dari mulut kita adalah berbagai makian, maka itulah sebenarnya aroma hati yang sesungguhnya.

Namun, jika yang keluar dari mulut kita adalah berbagai pujian baik bagi kemuliaan Tuhan, maupun untuk memberi dukungan kepada setiap anggota keluarga, maka itulah aroma hati kita yang sesungguhnya.


  1. Keluarga menjadi laboratorium untuk meng­ucap syukur (20).

Mengucap syukur atas segala kebaikan Tuhan untuk hidup keluarga kita, yang wujudnya adalah perlindungan Tuhan, berkat-berkat Tuhan, pekerjaan kita, talenta kita untuk melayani-Nya dan kemam­puan kita berbuat baik kepada orang lain.

Di dalam kehidupan keluarga Kristen, orangtua mempunyai peranan penting untuk memberi teladan kepada anak-anak agar mereka tahu berterima kasih dan mengucap syukur untuk semua yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Saya pernah begitu terkejut. Tetapi sekaligus kagum. Sebab ketika kami meng­adakan ibadah lesehan dengan menggunakan tikar, ketika kantong kolekte sedang diedarkan, ada anak kecil yang belum bisa berjalan, dia merangkak mengejar orang yang sedang mengedarkan kantong kolekte tesebut. Kemudian dia mema­sukkan uang per­sem­bahan ke dalam kantong kolekte.

Mengapa itu bisa terjadi? Karena orangtuanya telah memberi teladan anaknya yang masih kecil dan memberi dorongan untuk mengucap syukur kepada Tuhan atas berkat-berkat yang telah mereka terima.

Karena itu, marilah keluarga kita, kita gunakan sebagai laboratorium untuk mengucap syukur kepada Tuhan, atas semua kebaikan-Nya.

Dengan demikian, kita perlu secara jujur untuk menghitung setiap berkat yang Tuhan telah berikan kepada keluarga kita. Dan secara jujur pula mengucap syukur kepada Tuhan.



  1. Keluarga menjadi laboratorium untuk memiliki rasa hormat (21).

Artinya, bahwa dalam keluarga, antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya harus saling menghargai.

Suami harus menghargai istri, karena istri telah menghayati dan melaksanakan perannya atas panggilan Tuhan di balik tugasnya sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Dengan demikian, dia adalah penolong yang sepadan bagi suaminya.

Istri harus menghargai suami, karena suami harus menghayati dan melaksanakan perannya sebagai kepala keluarga, yang ber­tanggung jawab untuk mengambil kepu­tusan, menjadi inisiator, pelindung dan organisator dalam keluarga.

Anak-anak harus menghormati dan menghargai kedua orangtuanya, kerena mereka telah menghayati dan melaksanakan perannya sebagai orangtua dengan penuh tanggung jawab.

Jika dalam kehidupan keluarga, setiap anggotanya dapat melakukan yang demikian, maka keluarga tersebut telah menjadi laboratorium untuk saling menghormati dan menghargai antara satu dengan yang lainnya.


Kesimpulan.

Kehidupan keluarga kita akan benar-benar berkualitas, jika kita mau menggunakan sebagai laboratorium yang dapat melihat segala kekurangan. Kemudian dengan kesungguhan hati bersedia memperbaikinya.

Sehingga keluarga kita akan menjadi tempat yang nyaman, aman, penuh kehangatan dan seluruh anggota keluarga dapat bertumbuh dan ber­kem­bang secara kreatif dalam berbagai aspek kehidupan.

Rabu, 21 Mei 2008

Garam yang tidak asin

Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak oramg” (Matius 5:13).

Bagi kita yang tinggal di Indonesia tentu akan merasa sangat bingung jika mendengar tentang garam yang bisa menjadi tawar, kehilangan rasa asinnya. Sebab di mana pun kita tinggal di Indonesia ini, kalau kita meraup segenggam garam, lalu kita mencicipinya, rasa garam itu pasti asin. Dan belum pernah seorangpun di Indonesia yang pernah bersaksi telah meraup senggenggam garam atau mengambil segumpal garam kemudian mencicipinya dan rasanya tidak asin.

Sedangkan jika kita membaca Matius 5:13, Yesus mengatakan jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Pertanyaannya mungkinkah garam bisa menjadi tawar? Sehingga ketika ada orang meraup segenggam garam atau mengambil segumpal garam dan menggunakannya untuk masak, ternyata garam itu tidak memberi pengaruh apa-apa karena telah kehilangan rasa asinnya.

Kalau demikian dalam konteks yang bagaimanakah garam bisa kehilangan rasa asinnya? Apakah ketika Yesus mengatakan kalimat tersebut Dia hanya asal bicara? Tentu tidak! Jika tidak asal bicara, tentu Dia memiliki dasar yang kuat untuk memberikan pengajran kepada murid-murid-Nya tentang garam yang telah kehilangan rasa asinnya tersebut.

Dalam konteks masyarakat pada zaman Yesus, mereka tidak mengalami kebingungan seperti kita di Indonesia ketika mendengar bahwa ada garam yang telah kehilangan rasa asinnya. Mengapa? Karena di tanah Kanaan kuno; rumah tangga selalu mempunyai dapur. Dapur itu berupa semacam tungku yang diletakkan di luar rumah. Tungku itu dibuat dari batu dengan alas tanah liat seperti batu bata. Untuk memperoleh dan mempertahankan panas maka di bawah alas batu bata tersebut diletakkan garam yang cukup tebal. Kalau garam tersebut telah kehilangan rasa asinnya, maka panas pada tungku tersebut menjadi berkurang. Kemudian orang akan membongkar tanah bersama garam yang telah kehilangan rasa asinnya tersebut ke pinggir jalan dan akan diinjak-injak oleh orang.

Dengan demikian, kita dapat memahami perkataan Yesus yang mengatakan jika garam kehilangan asinnya, maka garam itu hanya akan dibuang dan diinjak-injak orang. Tetapi muncul pertanyaan, sebenarnya melalui ucapan tersebut Yesus mau mengapungkan pokok persoalan apa kepada para pendengar-Nya?

Pokok utama yang hendak dikemukakan oleh Yesus adalah ketidakbergunaan hanya akan selalu mengundang kesia-sian. Mengapa demikian? Karena garam itu memiliki daya guna yang sangat banyak. 1. Garam selalu dihubungkan dengan kemurnian. 2. Garam merupakan bahan pengawet. 3. Garam memberi cita rasa kepada banyak hal, dsb.

Lantas apa aplikasinya bagi kita pada masa kini? Kalau orang Kristen tidak dapat memenuhi standar hidupnya sebagai orang Kristen, maka ia berada pada jalan yang menuju kepada kesia-sian. Karena bagi Yesus, kita sebagai orang-orang yang percaya kepada-Nya, dimaksud agar kita menjadi garam dunia. Kalau dalam hidup kita tidakmemberlakukan sebagai daya pemurni, sebagai daya pengawet dan sebagai daya pemberi cita rasa dalam banyak hal, maka hidup kita ini sebenarnya sedang menuju kepada kesia-sian belaka. Karena itu, Yesus mengatakan jika garam itu akan menjadi tawar hanya akan dibuang di jalan dan dinjak-injak orang. Artinya, semuanya hanya kesia-siaan belaka.

Untuk itu kita umat Kristen yang beriman kepada-Nya, marilah kita mentransformasi diri bagi kemuliaan Allah, dengan jalan memiliki hidup yang berdaya guna sebagaimana garam. Amin!!! GBU.


Kudus, Jawa Tengah, Indonesia, 22-5-2008.

Rabu, 14 Mei 2008

apa betul garam menjadi tidak asin?

Dalam konteks kehidupan masyaratkat di Indonesia, tentu orang akan bingung ketika mendengar bahwa garam bisa kehilangan rasa asinnya. Kita akan bertanya bagaimana itu bisa terjadi? Dan kalau Tuhan Yesus mengatakan garam sudah kehilangan rasa asinnya, maka garam itu akan dibuang dan diinjak-injak orang. Benarkah itu terjadi? Apa Tuhan Yesus hanya mengarang saja tanpa ada landasan yang pasti? Hal ini akan saya kupas minggu depan! Sabar ya, menunggunya! :)